Posted: 10/12/2013 07:10
Citizen6, Jakarta: Pernyataan Ali Maschan Moesa,
salah seorang anggota Badan Kehormatan (BK) DPR-RI bahwa anggota Dewan
masih berhak mendapatkan dana pensiun selama tidak diberhentikan secara
tidak hormat oleh BK DPR-RI, termasuk anggota yang dikenakan pergantian
antar waktu (PAW).
Keinginan tersebut kurang menya dari bahwa usulannya
jika dianalogikan seperti benalu atau parasit yang tumbuh di pohon yang
besar yang lama kelamaan bisa mematikan pohon besar tersebut, begitu
juga halnya dengan dana pensiun anggota DPR yang nantinya bisa merusak
keuangan negara. Terhadap masalah ini seharusnya mereka berfikir bahwa
masalah dana pensiun yang diberikan terhadap pensiunan DPR akan
membebani generasi mendatang, karena pada saatnya nanti akan menimbulkan
akumulasi masalahyang sangat menyulitkan.
Apalagi, publik juga
akan mencurigai dan menduga akan ada siasat yang dilakukana nggota
DPR-RI untuk tetap mendapatkan pensiun, walaupun tersangkut kasus hukum
yaitu mereka mengundurkan diri sebelum kasus hukumnyat ersebut memiliki
kekuatan hukum yang tetap.
Dana pensiun yang mereka harapkan harus
dibangun dari awal. Hal ini bisa berbentuk asuransi bukan diberikan
dari APBN secara cuma-cuma. Beda masalahnya dengan Pegawai Negeri
(sipil,militer dan Polri), pensiun yang mereka dapat sudah dibangun
minimal 20 tahun kerja melalui premi yang dipotong dari gaji mereka
setiap bulan (sekitar Rp 550.000 per bulan untuk mereka yang sudah
bekerja lebih dari 15 tahun).
Pegawai Negeri menikmati dana
pensiun, bukan karena mereka bersenang-senang dan dimanjakan oleh
negara, tetapi dana pensiun tersebut merupakan hasil keringat mereka
sendiri, yang dilakukan pomotongan setiap bulan sebagai premi pensiun
untuk tabungan dan jaminan kesejahteraan hidup di hari tua.
Berkaca
dari keinginan dan ambisi para politikus-politikus tersebut, di sini
terlihat adanya rasa iri, tanpa mau melihat fakta bahwa uang jerih payah
Pegawai Negeri yang pemotongannya 'dipaksa' setiap bulan, agar saat
mereka tidak bisa lagi mengabdi telah mempunyai pengahasilan setiap
bulan. Jika uang yang diterima wakil rakyat diibaratkan seperti darah,
maka sesungguhnya politikus-politikus tersebut sudah terlalu banyak
menyedotnya melalui fasilitas-fasilitas dan tunjangan-tunjangan (di luar
gaji) yang diberikan oleh negara, sehingga terkesan bahwa
politikus-politikus tersebut makmur sejahtera 'mewakili kesejahteraan
rakyatnya'. Demikian ironi yang sudah beredar luas.
Kalau anggota
DPR ingin mensejahterakan rakyatnya, memang sudah seharusnya para
politikus tersebut, mempunyai watak sebagai negarawan, mengutamakan
kepentingan negara dan rakyatnya di atas kepentingan kelompok maupun
pribadi. Mereka seharusnya berpikir bagaimana caranya mencari terobosan
dalam merumuskan UU yang dapat dijadikan dasar hukum oleh pemerintah
menuju pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sesuai yang
diamanatkan oleh UUD 1945.
Sebaliknya UU menyangkut masalah
parlemen sendiri, terkait gaji, fasilitas dan tunjangan, dibuat sangat
hemat dan bersahaja, tetapi terhadap Undang-Undang (UU) dan
aturan-aturan yang ada di parlemen yang tidak lagi sesuai dengan
perkembangan zaman, sebaiknya dihapuskan serta mencarikan solusi yang
terbaik agar para politikus kedepan betul-betul bermakna bagi rakyatnya.
Dasar
hukum pemberian tunjangan yang bersifat pensiun kepada ketua dan bekas
anggota DPR adalah UU Nomor 9 Tahun 1953 kemudian dirubah menjadi
Undang-Undang Nomor 12 tahun 1980 tentang hak keuangan/administratif
pimpinan dan anggota lembaga tertinggi/tinggi negara serta bekas
pimpinan lembaga tertinggi/tinggi negara dan bekas anggota lembaga
tinggi negara dimana dalam Bab VI pasal 12 s/d 21 memuat masalah
pensiun. Di samping itu ada juga PP Nomor 75 Tahun 2000 yang
mengaturnya. Sementara, UU Nomor 27 Tahun 2009 atau dikenal dengan UU
MD3 (Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD) tak mengatur perihal larangan
anggotanya yang berstatus terpidana mendapat uang pensiun.
Masalah
dana pensiun anggota DPR sudah ada ketentuan hukum yang mengatur, namun
masalah ini menimbulkan pro dan kontra akibat adanya beberapa orang
anggota DPR yang tersangkut kasus korupsi dan sudah mendapatkan putusan
hukum tetap, ternyata masih bisa mendapatkan dana pensiun dari negara.
Hal inilah yang memicu timbulnya permasalah, karena anggotanya yang
sudah mendapatkan vonis hukuman dari hakim masih bisa mendapatkan dana
pensiun sebagai anggota DPR.
Hal ini berbeda dengan Pegawai
Negeri, apabila pegawai negeri sudah dapat sanksi hukum dari hakim dan
dipecat secara tidak hormat dari, maka yang bersangkutan tidak
mendapatkan sama sekali dana pensiun. Di sisi lain anggota DPR yang masa
pengabdiannya dengan pengabdian Pegawai Negeri cukup jauh berbeda,
namun hebatnya anggota DPR tersebut saat vonis dijatuhakan mereka tetap
mendapatkan dana pensiun. Hal ini cukup mengecewakan rakyat.
Sebenarnya
kalau dilihat dari ketentuan yang berlaku dana pensiun tidak dapat
diberikan kepada anggota DPR yang diberhentikan dengan tidak hormat,
namun anggota DPR yang sedang terkena sanksi hukum mengunakan celah
dengan mengundurkankan diri sebagai anggota DPR saat status hukumnya
belum inkracht
. Oleh karena itu, pengunduran diri
mereka tetap dalam status terhormat dan oleh sebab itulah mereka tetap
mendapatkan dana pensiun.
Sebagai wakil rakyat yang salah satu
fungsinya adalah sebagai fungsi kontrol terhadap pemerintah, namun tiga
periode belakangan ini fungsi tersebut sudah mulai pudar, atau sengaja
dipudarkan, hanya terpulang kepada mereka untuk menjawabnya. Berkaca
dari kejadian-kejadian tersebut seharusnya Pimpinan DPR dan Badan
Kehormatan DPR memberikan pertimbangan kepada Sekjen DPR agar terhadap
mereka yang tersangkut kasus korupsi tidak perlu diberikan dana pensiun,
karena hal ini akan menimbulkan masalah baru dikemudian hari.
Anggota
DPR bukanlah pegawai negeri, tetapi jabatan politis yang elemen
penghasilannya ada unsur gaji pokok, Sejak reformasi 2004, DPR memiliki
kewenangan untuk menyusun APBN. Unsur pendapatan dan penghasilan dari
anggota DPR salah satunya adalah gaji pokok, kemudian anggota DPR
membuat aturan pensiunan anggota DPR dengan mendapat dana pensiun, celah
peraturan di parlemen sengaja digunakan anggotanya yang bermasalah
dengan hukum, untuk berhenti ditengah jalan dan kemudian akan tetap
mendapatkan hak pensiunnya sebagai anggota DPR.
Pemberian dana
pensiun seumur hidup terhadap anggota DPR sebaiknya dilakukan
revisi/ditinjau ulang kembali. Pemerintah dalam hal ini Kementerian
Keuangan diminta bersikap tegas dan segera menghentikannya, selain
membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), belakangan ini
anggota DPR tidak memiliki lagi kredibilitas yang baik di mata
rakyatnya, terlebih dengan banyaknya timbul kasus korupsi yang terus
membuntuti kinerja para wakil rakyat tersebut.
Oleh karena itu
sudah sepantasnya anggota DPR tidak lagi menerima dana pensiun dari
pemerintah, karena semasa menjabat sebagai anggota DPR gaji yang didapat
sudah sangat besar. Kalaupun anggota DPR mau mendapat pensiun juga bisa
disiasati melalui asuransi, dimana saat habis masa jabatan DPR dia bisa
mendapatkan uang pensiun dari premi yang dibayar setiap bulan. Premi
asuransi diambil dari potongan gaji masing-masing anggota DPR.
Kalaupun
negara ingin memberikan penghargaan bagi seorang anggota DPR yang sudah
selesai masa jabatannya, hal itu dapat dilakukan dengan pemberian uang
pesangon yang jumlahnya tidak terlalu memberatkan anggaran negara. Perlu
diketahui untuk dana pensiunan anggota DPR pemerintah setiap tahunnya
harus menguncurkan uang sekitar Rp 67 trilyun.
Terhadap
Pemerintahan mendatang diharapkan dapat bersikap lebih tegas dan tidak
menyalahi undang-undang kepegawaian negara, dimana yang semestinya
berhak menerima dana pensiun adalah pegawai negeri dengan masa kerja
yang telah ditentukan undang-undang, bukan anggota DPR yang hanya masa
kerjanya lima tahun. (Datuak Alat Tjumano/mar)